Sabtu, 25 Januari 2014

Cerpen : Memegang Cinta

Serabut senja mengarsir langit sore di pandangan Iva, langkahnya beradu semakin sengit setelah berpisah dengan sebagian besar kesibukannya hari itu. Lembaran-lembaran kertas tugas beralaskan notebook 12.1” dipeluknya erat sambil menggendong ransel merah jambu yang tampak manis ketika menempel di kulit Iva. Bola mata Iva yang cokelat terus menatap menyusuri lorong yang akan selalu ditapakinya selama tiga tahun ke depan. Tidak ada suasana atau suara lain yang bisa Iva rasakan sore itu kecuali hembusan angin yang berkali-kali menabraknya. Iva tidak sabar menemui jemputannya. “Maaf, Kak Dika!! Tadi aku ngerjain tugas kelompok habis bel pulang, Kak Dika jadi nunggu lama di depan sekolah,” wajah lelah Iva menatap kakak pertama dan terakhirnya dengan penuh rasa bersalah. “Weekend kok ngerjain tugas. Udah, cepet naik! Jam tujuh nanti kita keluar, kamu harus siap-siap.” Kaos berwarna campuran merah dan biru menempel pada tubuh Iva. Tidak terlalu rumit, hanya dipasangkan dengan jeans abu-abu beralaskan sepatu bertali dilengkapi rompi berwarna senada yang ikut memeluk Iva di malam minggu kedua bulan September. Secara tersirat, keikutsertaan Iva bersama keluarga kecil Dika adalah bertugas menjadi kakak pengasuh Dani, keponakan laki-lakinya yang menyebalkan. Lebih dari itu, Iva ikut menikmati makan malam dan hiburan ringan di malam minggu bersama keluarga kecil Dika. Setidaknya, aktivitas malam minggu Iva tidak datar seperti biasanya yang hanya duduk memakai headset di depan notebook dengan tayangan film animasi barat, ditemani kopi dan diusik getaran handphone berisi pesan dari Rani (teman Iva yang selalu memamerkan cerita malam minggunya bersama pacarnya dan mengejek Iva karena tidak punya pacar). Pesan yang membuat Iva tidak ingin menyentuh handphone-nya di setiap malam minggu. New message from Rani. Rani : mlm ni aku nonton bioskop ma Feri, PACARKU :p Wajah Iva terlipat membaca pesan singkat yang sekali lagi, berbau pamer. Iva : cuma nonton bioskop ja bangga!! Paling juga garing :p :p :p Kesal. Iva membunuh handphone-nya bahkan dengan tega Iva menguburnya dalam tas Indri, kakak iparnya. Tas yang penuh popok, celana dan perlengkapan anak berumur tiga tahun lainnya. “Apa yang kamu masukin ke tas, Va?” “Hp, kak. Tapi mati kok”, Iva tersenyum meyakinkan. Sungguh bertolak belakang antara skenario hidup Iva dengan arus di lingkungannya. Lingkungannya mengobori pergaulan dengan status spesial antar teman lawan jenis, sedangkan Iva harus tunduk dengan aturan yang dususun orangtuanya. Hanya satu yang membuta Iva berbeda selama ini, teman-teman Iva hampir seluruhnya menggandeng pasangan, tapi Iva tetap diam dalam siraman sosial orangtuanya untuk tidak pacaran selama SMA. Ok. Dengan berdasar bakti kepada orangtuanya, Iva memegang erat janji dan kepercayaan mereka untuk tidak melanggar aturan mereka selama ini, meski semakin lama semakin merasa terpaksa. Hati Iva bertambah kesal ketika melihat Dani berlari dan berteriak sesuka hati memamerkan benda hitam-ungu yang menyala dalam genggamannya, layar benda bernama handphone itu menunjukkan ada tiga pesan masuk yang belum terbaca. Perhatian Iva tertuju pada benda dalam genggaman Dani, sampai akhirnya mereka bertabrakan. “Huh, jangan lari-lari bawa hp tante, ntar jatuh!!” Iva setengah membentak. Tanpa balasan kata-kata, Dani menyerang tante satu-satunya dengan ganas. “Kak Indri.....Kak Dika.....!!! anakmu niiiii!!” Tangan Dika meraih anak semata wayangnya yang hobi menghancurkan kesenangan tantenya. Genggaman handphone terlepas diikuti Iva yang kaget dengan mulut menganga. Habis sudah riwayat handphone kesayangan Iva. Tidak hancur secara fisik, lebih buruk dari itu sudah tak berdaya dan tidak dapat diambil manfaatnya lagi. Tapi karena itulah Iva mulai merenung. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk Iva bercerita seputar kehidupan asmaranya. Sebelum handphone itu mati, Indri sempat mengorek pesan dan isi handphone Iva. Sebagai kakak, Indri ingin Iva terbuka padanya. Berharap Indri bisa menggantikan ibu Iva yang biasa menjadi tempat curhat karena selama SMA Iva tidak tinggal satu atap dengan ayah dan ibunya. “Temen-temen Iva pada punya pacar kak... Iva pengen tau rasanya.” “Huft... sebenernya gampang ya kalo kamu boleh pacaran, mungkin mantanmu udah gundukan. Sekarang aja ada empat cowok deketin kamu,” terang Indri. “Makannya, bolehin aku pacaran....sekali aja gak apa-apa.” “Tapi nggak segampang itu. Pacaran itu nggak sekedar 1+1= 2. Pikirin lagi...” Berada di posisi Iva boleh jadi rumit, tapi tidak salah bila disikapi dengan cuek. Justru teman-teman Iva menanggapi dengan berlebihan. Mengelabui dengan kalimat jitu ‘masa-masa SMA adalah masa-masa paling indah’ dan meyakinkan bahwa kata ‘indah’ dalam kalimat itu bertemakan cinta. ‘Nggak bakalan seru jadi anak SMA kalo nggak nakal’, kalimat lain yang cukup mematikan dan sedikit melunturkan niat Iva menjaga kepercayaan besar orangtuanya padanya. “....cintaku hanya untukmu, ini tidak palsu, maukah kau menerimaku?” Iva merendahkan tanganya yang memegang surat cinta dari Raka, salah satu dari empat orang yang rajin mengirim pesan singkat maupun menelfon Iva setiap hari. Raka adalah yang paling agresif. “Jadi?” Raka mengangkat mawar merah ke depan mata Iva. Dahi Iva berkerut. “Jangan buru-buru buat keputusan, ingat juga apa janjimu, pertimbangannya banyak, va,” bisik merdu Desi, sahabat Iva yang sangat pengertian meski statusnya saat ini ‘berpacaran’. Lingkaran besar mata Iva menatap sekitar, fikirannya sempat melayang menimbang-nimbang semua masukan dan saran yang bersarang di telinganya. Mata Iva terus menjelajah, Iva menemukan wajah Rani yang tampak benar-benar menanti jawaban Iva. Sampai penjelajahan matanya berhenti mendapati Adit, salah satu pengisi kotak masuk Iva setiap malam yang sedang tersenyum rela melihat peristiwa yang belum ada akhirnya itu. Mengingat panah cupid tertancap pada Adit, Iva mantab menolak halus tawaran Raka. Sejak awal, Iva memang menaruh hati pada Adit. Tapi tak ada komunikasi verbal untuk mengungkapkannya, hati Iva masih sanggup memendamnya. Walaupun sepanjang pendaman itu terkubur rapi, banyak kumbang berputar dalam hidupnya. Salah satunya, Raka. Melempar tas dan menjatuhkan diri ke kasur berbungkus sprei ungu bergambar headphone raksasa, Iva berusaha membuang file-file tak berguna dalam dokumen penting di otaknya. Kala itu, Indri bersama Dani berada di depan meja rias kamar Iva. Dani bingung mengamati tawa ibunya yang mendengarkan cerita penuh keluhan dari tantenya. Walaupun pengetahuan Dani tentang pembicaraan itu nol besar, tawa imutnya ikut mengejek Iva yang sedang kesal. “Inget, Va....kamu memegang kepercayaan. Ibu dan ayah di rumah emang nggak tau, tapi itu bukan alasan untuk melanggarnya,” tutur Indri mengakhiri tawanya. Nafas panjang Iva mengisyaratkan pemahaman akan maksud kata-kata Indri. Keputusan menolak Raka bukan berarti selesai dan Adit akan maju karena secara tidak langsung Iva memberi lampu hijau pada rasa di hatinya, justru Adit semakin mengerti bulatan tekad Iva benar-benar sempurna untuk berpegang pada aturan awal dari orang tua Iva. Tergantung, terombang-ambing angin dan badai hingga bertambah tahun, mengucapkan selamat tinggal pada sepersembilan masa SMA-nya. Tapi tidak ada tindak lanjut atas perasaan masing-masing individu. Raka semakin datar dan tampak lebih sabar menanti waktu yang tepat, begitu juga Adit yang lebih acuh karena tetap membiarkan Raka mendekati dan memetik hati Iva. Iva tidak ingin lagi terlalu menjadikannya beban, walau pendaman sejak bulan September belum tergali. “Kalian bisa memanggilku Ira. Semoga kita bisa berteman baik. Terima kasih.” Wujud nyata emansipasi. Iva sangat senang mendapat anggota baru dari jenisnya di kelas. Lumayan terobati lubang ganjil jumlah siswa perempuan yang hanya sembilan sedangkan laki-laki ada 24 manusia. Hujanan sambutan manis menumbuhkan keakraban, membantu cepat jalannya adaptasi Ira di lingkungan barunya. Iva dan Ira, cukup mirip dari segi nama. Persentase keakraban mereka juga cukup baik, tidak terlalu renggang. Kesamaan hobi mengunjungi perpustakaan membuat komunikasi antara mereka berdua terajut cukup rapi dan saling mengetahui satu sama lain. “Cari apa, ra?” Adit mengamati gadis tinggi proporsional yang tampak kebingungan di antara ribuan buku. “Buku referensi yang pas buat tugas sejarah minggu depan.” Jemari Ira meneliti buku-buku di rak sejarah dengan indah, melompat-lompat dari buku satu ke buku lain, mengambil dan membuka beberapa halaman buku-buku yang ada, Adit membantu. Iva menangkap semua yang baru terjadi, lingkaran cokelatnya sibuk menyelidik dari sela-sela buku di balik rak. Dengan ekspresi tidak suka, Iva menarik perlahan tatapannya menjauhi pusat penyebab panas hatinya, mencoba mengumpulkan huruf yang mungkin dapat menjelaskan arti dari hasil gambar rekaman matanya. “Salah nggak sih, Des? Adit bukan siapa-siapaku. Tapi rasanya panas liat dia sama Ira...,” keluh Iva manja pada Desi. “Menurutku, itu bukan masalah benar atau salah, itu kan perasaanmu. Kamu cuma perlu kontrol emosi aja.” “Terus aku harus gimana sama Aditnya?” “Tenang dulu, kalau susah mendemnya mending jangan disulut, jauhin mereka dulu sampai kamu bener-bener tenang.” Demi memadamkan kobaran api dalam hati, Iva benar-benar menjauhi penyulut api. Sebisa mungkin ia menghindari berhadapan langsung dengan Adit maupun Ira. Elakan dari Iva selalu ada, juga bersembunyi jauh sebelum berpapasan dengan mereka. Iva tidak ingin emosinya meluap percuma, hanya untuk menanggapi hal sederhana yang menyiksa perasaannya. Bahkan berat bagi Iva menerima senyum dari Adit yang kala itu sedang duduk belajar bersama Ira. Iva hanya berpaling mengaitkan headset di telinganya dan menekan tombol ‘on’ pada mp3-nya. “Va, nanti aku ke rumahmu. Kita kerja kelompok bahasa indonesia. Kurang dikit kok,” dengan rasa tidak enak, Adit meminta izin pada Iva. Respon menolak dengan sedikit bingung menyembunyikan sesuatu tampak remang di pandangan Iva, Adit mulai mengerti definisi perubahan sikap Iva tiga bulan terakhir. Sore teduh di halaman depan rumah Iva. Ramai teriakan Dani yang bermain air bersama Iva dan Indri. Gemuruh suara kendaraan bermotor beradu dengan angin kencang, sore yang menyenangkan bagi Iva yang masih bernuansa kelabu. “Kak, aku masuk dulu ya, mau mandi,” Iva buru-buru berlari masuk rumah. “Jam tiga! kerajinan kamu mandi jam segini!” balas Indri. “Gatel kak, dari tadi maen air. Lagian aku mau les,” Iva sudah tak terjangkau mata lagi. Hilang ditelan rumah. Bersamaan dengan itu, Dani berseru keras menyambut Adit yang masuk halaman depan menggandeng motor vixion merahnya. Detik itu juga Indri berubah ekspresi, mengerti alasan adik iparnya cepat-cepat masuk rumah. “Nih, tadi sore temenmu titip ini. Katanya ini tugas tinggal edit terus print”, Indri memberi Iva kotak kecil titipan Adit, “Pacarmu?” kalimat Indri bersambung. “Bukan, kelompokku. Lagian aku kan nggak boleh pacaran,” ekspresi acuh dari Iva membuat Indri menerka-nerka siapa Adit sebenarnya. Indri memancing suasana sampai Iva membuka semua lebar-lebar. Kotak berisi flaskdisk tugas bahasa indonesia membawa pesan lain dalam amplop yang ikut membungkus flaskdisk. Sepucuk surat permohonan maaf tertulis pendek dan singkat, “Va, aku minta maaf...,” tidak ada kalimat lain yang mengiringi dalam surat itu. Mungkin Adit tidak berani memastikan alasan Iva berubah sikap terhadapnya, yang Adit pahami hanyalah Iva seakan ingin untuk tidak mengenalnya lagi. Entah bagaimana Adit ingin sekali mengetahui dasar sikap Iva terhadapnya. Lalu, atas bantuan cerita Desi, Adit dapat memahami apa yang selama ini terjadi. Adit hanya berpesan kepada Desi untuk menjaga Iva agar tidak memikirkan masalah itu lagi menjelang dan selama minggu-minggu ujian semester, Adit belum bisa menyelesaikan itu dan ia masih memikirkan hal lain menyangkut hidupnya di masa yang akan datang. “Iva, aku butuh bicara denganmu setelah acara ini selesai. Aku tunggu di pintu depan. Aku mohon, aku mohon , aku butuh bicara,” sampai pada acara perpisahan kakak kelas 12, Adit baru mulai menapaki langkah damai dengan Iva. Tapi tidak ada jawaban dari Iva yang kala itu memakai kebaya putih nan anggun, karena bertugas menjadi MC acara formal hari itu. Lewat pukul 17.00 WIB, gedung tempat acara perpisahan sepi sudah. Semua undangan tentu sudah pulang. Tapi beberapa pengisi acara dan panitia masih sibuk di dalam. Adit duduk menanti gadis yang memakai kebaya putih ketika menjadi MC acara perpisahan di depan pintu masuk dengan sabar. “Menunggu siapa, Dit?” Ira menyapa Adit yang tampak lesu. “Apa Iva masih di dalam?” Ira hanya menggeleng. Sebenarnya Ira mengetahui siapa yang Adit tunggu dan apa kalimat yang akan diucapkan ketika Adit bertemu dengan Iva. Ira paham permasalahannya selama ini, merasa menjadi bagian dari kisah panjang itu. Tapi mungkin Iva belum siap untuk mengangkat kembali masalah yang sempat vakum tanpa penyelesaian, tidak ada respon bahkan ketika Adit mencoba menghubungi lewat telepon. '...Sebenarnya aku ingin sekali berbicara langsung padamu, Va. Tapi mungkin itu hanya sebatas keinginanaku, bukan keinginanmu. Yang pasti, aku benar-benar ingin meminta maaf padamu atas banyak hal. Aku tidak bermaksud membuat perasaanmu tidak enak. Memang ketika itu hatiku terbagi menjadi dua, dugaanmu tidak salah. Yang salah, jika kamu menganggap aku telah berubah rasa padamu. Sejak awal tidak ada yang berubah dari hatiku tentang bagaimana perasaan sukaku terhadapmu. Walaupun Ira pernah singgah sejenak di hatiku. Aku tetap melabuhkan sebagian besar hatiku padamu. Hanya saja aku tidak menyatakannya sejak dulu. Aku pikir, Raka adalah laki-laki yang lebih baik untukmu. Lagipula aku menghargai betul tekadmu untuk tidak berpacaran sesuai kehendak orang tuamu. Aku hanya ingin kamu mendapat yang terbaik untuk kedepannya. Sekali lagi aku meminta maaf dan terima kasih tak membiarkan hatiku kosong selama ini. aku tidak tau kapan bisa bertemu lagi denganmu, ayahku pindah tugas keluar kota dan aku tidak bisa lebih lama lagi disini... Semoga kita mendapat yang terbaik untuk hidup dan mati kita.' “Dia berusaha agar tidak lolos tes di sekolah barunya, berharap akan tetap disini bersamamu. Tapi tidak bisa, dia diterima dan sudah tidak tinggal di kota ini lagi,” Desi menjelaskan keadaan Adit. Iva merasa bersalah. Tidak ada air mata dari pelupuk matanya, tapi hatinya ingin membunuh semua ini. Memang sebuah penyesalan ada di akhir, dan itulah yang Iva alami saat ini. Hari demi hari yang berlalu setelah hari perpisahan, sebisa mungkin Iva menutupi penyesalannya. Tidak banyak kata terucap, Iva berubah lagi. Masa-masa transisinya memang belum berakhir. Tidak ada obat untuk Iva sebelum ada tamu berkunjung ke kelasnya. “Adiiiiitt...!!!!” teriak Reza, teman sekelas Iva yang melihat Adit berjalan dari kejauhan menuju ke kerumunan dalam kelas Iva. Iva tau persis kedatangan Adit yang mendadak. Tapi belum ada yang dapat Iva katakan. Iva hanya tersenyum ketika pertama matanya bertemu dengan mata Adit setelah beberapa bulan tak saling menatap. “Gimana kabarmu, Va?” sapa Adit. “Baik, kamu?” “Sama.” “Aku sudah baca suratmu dulu...maaf nggak bisa nemuin kamu pulang perpisahan, aku udah dijemput dan nggak bisa hubungi kamu, udah lama handphoneku rusak belum beli.” “Itu udah dulu, lupain aja,” Adit menjawab santai. Mengawali suasana sunyi diantara mereka. “Tapi boleh aku tanya perasaanmu?” sambung Adit. “Hmm?” “Seperti yang aku tulis di surat dulu.” “Yaa....kalo gitu aku sama kayak kamu,” Iva tak memandang, “Sampai sekarang,” senyum Iva mengembang. Adit tersenyum, masih merasakannya juga. “Tapi aku masih belum boleh pacaran.” “Kita akan tetap saling menjaga perasaan, aku masih menghargai tekad muliamu, Va.” “Terima kasih untuk penghargaanmu. Semoga kita bisa saling menjaga.” Mereka berdua tersenyum malu. Iva merasa, hatinya kini benar-benar terobati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar