Senin, 27 Januari 2014

Cerpen : Akhir Cerita

Masih sangat hangat dalam ingatan Rani tentang kata-kata yang sampai saat ini memotivasinya untuk tetap bertahan dalam rasa penasarannya kepada akhir cerita hidupnya. Leny berkata “ini semua adalah proses pendewasaan diri”. Sebenarnya Rani tidak begitu paham makna kalimat dari sahabat imutnya itu. ‘Bagian mana dari cerita ini yang bisa menjadikanku dewasa? Bagaimana bisa ini semua menjadi proses pendewasaan?’ Rani hanya membiarkan pertanyaan-pertanyaan di benaknya melayang bebas. Seiring Rani membiarkan waktu kosongnya secara tidak ia sadari terbuang untuk merenungi cerita hidupnya. Tidak jarang pula tetesan air matanya membasahi pipi halusnya. Sampai saat ini ia belum mengerti mengapa kedua sahabatnya menjauhinya, melemparkan tatapan tak ramah padanya, bahkan untuk bertegur sapa pun tidak mau. Dulu Rani begitu senang melewati waktu bersama Desi dan Safa. Tak terlihat raut wajah sedih ketika Rani bersama Desi dan Safa. Mereka bertiga selalu menyelesaikan masalah mereka bersama-sama. Seperti waktu Safa menangis tersedu-sedu karena putus dengan pacar pertamanya yang selingkuh di depan matanya sendiri. “Safa, kita memang belum waktunya berperang perasaan perihal cinta kepada lawan jenis kita. Seharusnya kamu biarkan rasa suka itu tumbuh sampai ada kepastian bahwa ia yang terbaik untukmu, jangan buru-buru memutuskan untuk pacaran…” kata Rani menenangkan Safa yang tak dapat menghentikan deraian air matanya. “Aku baru sadar, cowok bukan segalanya…” Safa mengusap air matanya lalu merangkul Rani dan Desi “Makasih karena kalian mau jadi sandaranku saat aku sedih..” Rani dan Desi saling menatap lalu tersenyum sambil mempererat pelukan mereka dengan Safa. Tidak pernah mereka merasa kesepian karena mereka saling mengisi kekosongan satu sama lain. Bagaimanapun juga mereka selalu berusaha ada ketika salah satu diantara mereka membutuhkan. “Des, kok kamu belum datang?” Safa dan Rani yang telah menunggu lama kedatangan Desi di bioskop memutuskan untuk menelfon Desi, mereka janjian untuk nonton sore itu. “ Maaf, nenekku baru saja masuk rumah sakit. Aku nggak bisa nonton bereng kalian sore ini, aku harus menjaga nenekku disini..” jawab Desi. Mendengar jawaban Desi, sekejap Rani dan Safa membatalkan rencana nonton lalu segera mendatangi Desi yang berada di rumah sakit menjaga neneknya. Bahkan mereka menangis bersama di suatu sore ketika mereka tak kuat menahan gertakan dari beberapa anak yang menganggap bahwa kedekatan mereka bertiga mengganggu teman-teman yang lain. Memang mereka bertiga sering terlihat bersama setiap saat, mereka juga sering pergi bertiga hanya untuk sekedar melepas beban masalah di pundak mereka. Banyak teman-teman menganggap mereka bertiga tidak kenal sekeliling, hanya bertiga dan tidak pernah dengan yang lain. Semua itu diamati baik-baik oleh Leny, teman sebangku Rani yang cukup dekat dengan Rani dan sudah Rani anggap sebagai sahabatnya. “Jangan punya hubungan yang terlalu dekat jika kamu dan dua sahabatmu itu tidak ingin merasakan betapa pahitnya perpisahan…” Leny pernah memperingatkan Rani. Sampai pada suatu pagi, dengan wajah murung Rani masuk ke kelas. Beberapa hari memang Rani sedikit menutup diri, wajahnya lebih sering terlihat pucat karena tengah memikul beban yang berat bahkan untuk sekedar diceritakan pada Desi dan Safa. “Ada apa denganmu, Ran?” Tanya Leny halus. Tapi Rani hanya menggelengkan kepala. Begitu juga dengan Safa dan Desi. Ketika Safa dan Desi mencoba berbicara dengan Rani, Rani tidak mau menjelaskan titik permasalahannya. Rani menutupi sesuatu, ia berusaha mengembalikan senyumnya agar tak banyak temannya bertanya tentang keadaan dirinya. Ia belum siap untuk menceritakan masalahnya pada siapapun. Tapi, ketika Rani berhasil menghias wajahnya dengan senyum cerianya, justru perlahan Desi dan Safa tampak menjauhi Rani. Ketika Rani sudah siap menceritakan masalahnya pada Desi dan Safa, mereka justru melemparkan tatapan tak ramah dan senyum yang terpaksa. Rani tidak paham mengapa sikap mereka tiba-tiba saja berubah. Akhirnya Rani menceritakan masalahnya pada Leny, tapi Rani melarang Leny untuk menceritakannya pada siapaun termasuk Desi dan Safa. “Biar aku yang menceritakan semua ini pada Safa dan Desi, jangan dahului aku becerita. Aku yakin kamu bisa menjaga rahasia ini Len..” pesan Rani setelah selesai bercerita. Semakin hari suasana semakin tidak enak, Desi dan Safa benar-benar jauh dengan Rani. Mereka sibuk bercanda dengan yang lain tapi tidak dengan Rani. Rani semakin merasa tidak nyaman, tapi ia berusaha tetap biasa seperti tidak ada hal yang aneh pada sikap kedua sahabatnya itu. Padahal, Rani sering meneteskan air matanya untuk Safa dan Desi yang kini tak lagi dekat dengannya. “sabarlah Ran, ini semua adalah proses pendewasaan diri..” tegur Leny yang mendapati teman sebangkunya itu menangis di pojokan kelas sepulang sekolah sambil memandangi foto-foto ketika ia masih sangat dekat dengan Desi dan Safa. Berbulan bulan sudah Rani membiarkan keadaan tak enak itu begitu saja sampai akhirnya pada suatu pagi Rani tak masuk sekolah. Lalu secara tiba-tiba ketua kelas berbicara di depan kelas, memberitahu seluruh anggota kelas bahwa Rani keluar dari sekolah atas dasar kemauannya sendiri. Menanggapi hal itu, Desi dan Safa hanya saling bertatapan mata tanpa tahu apa yang semestinya mereka lakukan. Sepulang sekolah, Leny mengajak Safa dan Desi pergi tanpa mau menyebutkan tujuan akan pergi kemana. Awalnya Desi dan Safa tidak mau karena mereka punya rencana pergi ke rumah Rani untuk meminta maaf atas sikap mereka yang sempat berubah. Tapi, dengan paksaan keras, Leny berhasil membuat Safa dan Desi menyetujui untuk ikut dengannya. Leny mengajak Safa dan Desi ke sebuah rumah sakit tanpa mengatakan alasannya. Leny membawa Desi dan Safa masuk ke sebuah ruangan yang ramai dengan suara tangisan. “Ada apa Len?” Safa dan Desi kaget melihat orang tua dan adik Rani ikut menangis di tengah beberapa orang lain. Leny tetap diam, ia mengajak Desi dan Safa mendekat ke tempat tidur lalu membuka selimut yang menutup seluruh tubuh seseorang dibaliknya. Safa dan Desi hanya diam sambil perlahan meneteskan air mata mereka ketika mengetahui bahwa seseorang dibalik selimut itu adalah Rani. Disaat itu, Leny memberikan sebuah amplop berisi surat dari Rani yang sudah lama ingin Rani berikan kepada Desi dan Safa. Untuk sahabat terbaikku, Desi dan Safa. Assalamu’alaikum kawan,, Aku minta maaf kepada kalian, mungkin aku belum bisa menjadi sahabat yang baik bagi kalian tapi yakinlah bahwa walau bagaimanapun aku senang pernah dekat dengan kalian. Aku juga ingin megucapkan terima kasih karena kalian mau menjadi sahabatku dan kalian pernah membuatku bahagia, kalian adalah dua orang yang membuatku tetap ingin bertahan dalam penyakit yang akan memakan umurku. Aku hanya ingin suasana seperti sekarang ini cepat berakhir, aku kangen pelukan hangat kalian yang menenangkan hatiku ketika hatiku penuh dengan kegalauan…aku tidak ingin sampai di akhir hidupku, kita tetap tak bertegur sapa… tapi aku tidak berharap banyak,, jika kalian membutuhkanku, datanglah padaku tapi jika kalian telah menemukan teman yang lebih baik dariku, aku mohon tinggalkanlah aku.. Wassalamu’alaikum Salam kangen, Rani Desi menutup kertas surat itu dan memeluk Safa erat-erat. Mereka menangis menyesal kerena pernah menjauhi Rani. “Satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, Rani tiada bukan sepenuhnya karena penyakitnya. Ia diambil lebih cepat oleh yang Maha Kuasa tadi pagi setelah kecelakaan..” jelas Leny sambil perlahan menutup kembali selimut yang menutupi Rani. “Sebentar Len, biarkan kami meminta permohonan maaf terakhir pada Rani” Desi menahan gerakan tangan Leny ketika menutup Rani dengan selimut. Satu per satu Desi dan Safa membisikkan kata maaf paling tulus dari hati mereka pada Rani lalu mencium kening sahabatnya yang telah tiada itu sebelum Leny melanjutkan untuk menutup selimut Rani. Rani masih belum mengetahui akhir ceritanya, padahal kini ia tak dapat lagi membuka matanya. Sampai nafas terakhirnya berhembus, Rani tidak tahu alasan Desi dan Safa menjauhinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar